Thursday, February 15, 2007

HANI’s CASE

Hani, seorang wanita setengah baya dan cukup cerdas. Dia tipe orang yang independent, cenderung mengerjakan segala sesuatunya sendiri. Lahir dari keluarga yang cukup kental budaya Jawanya, sebagai anak tertua, perempuan pula,sejak usia muda Hani diberi tanggung jawab mengurus adik-adiknya. Ketika menginjak usia remaja, ia pun ikut membantu orang tuanya mencari nafkah.


Hingga suatu saat ia ingin melanjutkan ke pendidikan lebih tinggi, orang tuanya lebih mendorongnya untuk segera berumah tangga. Usia 17-18 tahun pada masa itu sudah masuk kategori matang menikah. Jadilah, Hani muda menikah dengan seorang pemuda tetangga rumahnya.

Dua tahun kemudian, lahir anak pertama disusul dengan anak-anak selanjutnya. Hani, si ibu muda, sepanjang hari disibukkan oleh berbagai urusan rumah tangga. Pekerjaan yang tiada habisnya. Belum lagi, ia harus mencari pendapatan tambahan lantaran gaji suaminya "kurang memadai" untuk keluarga muda dengan beberapa orang anak.


Puluhan tahun berlalu. Hani muda telah menjadi seorang nenek. Namun, keinginannya untuk lebih mengembangkan diri tak pernah surut. Dari sinilah mulai muncul masalah. Di satu sisi ia ingin eksis sebagai dirinya, mengembangkan kemampuannya. Di sisi lain ia belum dapat lepas dari norma lama, perempuan (istri) sebagai pelayan laki-laki (suami). Kegalauan ini tarik menarik dalam dirinya selama puluhan tahun, dan makin lama makin kuat. Hidupnya jadi nggak asik lagi.


Dibutuhkan keberanian untuk mengambil keputusan bagi diri sendiri. Menerima norma lama yang selama ini dianut: "rela melayani suami, tanpa pernah berharap suami bakalan melayani istri. Kacian deh, lu. Atau, bersikap tegas terhadap suami (sebagai representasi dari masyarakat) dan menyatakan keinginan untuk mengembangkan diri (agak tega untuk ninggal-ninggalin suami, gitu loh). Sekaligus ‘mendidik’ suami untuk dapat melayani dirinya sendiri.


Setiap pilihan yang ibu, tante, mbak, rekan pilih tentu ada konsekuensinya. Seperti si Hani yang memilih untuk membiarkan pertentangan nilai terus berkecamuk dalam dirinya. Akibatnya, jadi kebingungan sendiri deh, dan gampang uring-uringan (kasian tetangga, loh).


Jadi, BERANILAH UNTUK MEMILIH atau MEMBUAT SUATU PILIHAN, lalu terima dengan rela konsekuensi dari setiap pilihan. Biar hidup kita tetap asik dan makin asik.



Asik…..asik….asik…..sik…..sik….sik!!!

No comments: